Pertanyaan Assalamu’alaikum, Saya sudah menikah selama 3 tahun. Alhamdulilah hidayah menyapa saya melalui suami saya. Atas ijin Allah, saya merasakan indahnya sunnah ini. Ustadz, dalam tiga tahun ini saya sangat bingung karena saya belum merasakan indahnya menjadi istri sesungguhnya. Karena sampai saat ini saya masih suci. Ustadz, batin saya tersiksa setiap hari saya hanya bisa bersabar dengan ujian ini. Terpikir di benak saya untuk menyudahi semua ini. Di saat suami saya sering membanding-bandingkan saya dengan istri lain. Katanya, saya tidak shalihah, saya bodoh. Jujur, saya memang masih awam dalam agama. Sungguh sakit hati saya, tapi saya hanya diam. Karena saya masih berpikir, apakah saya bisa menemukan suami seperti suami saya saat ini. Yang dapat mendidik saya, yang sama-sama suka mendatangi majlis dan sepaham dengan saya. Sedangkan rata-rata keluarga saya belum mengenal sunnah. Sungguh indah hidayah yang Allah berikan terhadap saya ini. Apa yang harus saya lakukan? Jazaakumullahu khairan atas nasehatnya. Dijawab oleh Al-Ustadz Aunur Rafiq bin Ghufran, Lc hafidzahullah Wa’alaikmussalam warahmatullah, Alhamdulilah, Apabila penanya mendapatkan suami yang punya ilmu, itulah hakikat kebahagiaan hidup berumah tangga bila kita berpegang kepada ilmu agama. Adapun apa yang dilontarkan oleh suami dengan kata-kata yang menyakitkan hati istri, alhamdulillah, jika Saudari bisa bersabar atas perkataan suami yang jelek dihadapinya dengan diam. Insyaallah itulah kunci kebaikan pada saat istri tidak bisa menasehatinya dengan ilmu. Dan memang benar apa yang dirasakan Ukhti, bahwa belum tentu saat menjauhi suami yang seperti itu, setelah itu dijamin mendapatkan ganti suami yang lebih baik. Karena penanya merasa bahwa dirinya masih kekurangan ilmu agama. Suami bicara yang keji atau tak menyedapkan perasaan tentu ada sebabnya. Boleh jadi karena pembawaannya, sehingga istri harus bersabar atau karena kesalahan istri sehingga istri harus memperbaiki dirinya. Kami sarankan Ukhti, hendaknya menerima nasehat suami, sekalipun berat di hati. Yang penting nasehat itu baik. Jangan menolak permintaan suami untuk jima’-ed, kapan saja, asalkan tidak bertepataan dengan waktu yang dilarang oleh syariat Allah. Sampaikan udzur bila istri bersalah. Jangan berbicara atau bertidak yang dapat menyakitkan hati suami dan mintalah nasehat suami bila menghadapi masalah. Jangan lupa bantulah pekerjaan suami sekiranya mampu danmemungkinkan. Upayakan selalu jalan damai. Karena Allah Ta’ala berfirman, وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ۗ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ ۚ “Dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. QS. An Nisa128 Bersabar atas ucapan suami yang menyakitkan hati dan diam termasuk pemberian sifat terpuji dari Allah untuk hamba pilihanNya. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ شيَئاً هُوَ خيَرٌ وَأَوسَعُ مِنَ الصَّبر “Tidaklah seseorang diberi sesuatu yang lebih baik dan luas daripada kesabaran.” Hadis shahih, At-Ta’liq Ar-Raghib 211, Shahih Abu dawud no. 1451 Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu berkata, إنَّ الصبر من الإيمان بمنزلة الرأس من الجسد ألا إنه لا إيمان لمن لا صبر له “Sesungguhnya kedudukan sabar di dalam iman bagaikan kepala pada tubuh manusia. Ketahuilah, tidaklah seorang dinamakan mukmin bila dia tidak bersabar.” Syuabul Iman, 7 124 Insyaallah dengan kita memohon kepada Allah dan berikhtiar dengan apa yang Allah ridhai. Dia akan memudahkan semua urusan kita. Wallahua’lam **** Sumber Majalah Al-Mawaddah. Edisi Shafar 1436 H Artikel
6 Mengghibah suami. Ada kalanya istri tidak marah kepada suami, tapi ternyata ia membicarakan suaminya kepada keluarga atau teman-temannya. Ini juga termasuk tanda durhaka. 7. Membandingkan-bandingkan suami. Suka membanding-bandingkan suami dengan laki-laki lain, baik dari keluarganya maupun temannya, membuat seorang suami tersakiti. BerandaKlinikKeluargaStatus Hukum Wanita ...KeluargaStatus Hukum Wanita ...KeluargaSelasa, 14 Agustus 2012Assalamualaikum, saya mau bertanya, saudara saya sempat mengalami gangguan jiwa dan sempat masuk RS jiwa. Ketika masuk rumah sakit usia perkawinannya baru 3 bulanan. Saat di RSJ istrinya dihamili oleh orang lain dan akhirnya dinikah siri istri tersebut punya 2 suami secara hukum dan agama. Dan ketika mau melahirkan, istri meminta materi terhadap suami sah secara hukum, tetapi dari pihak suami tidak mau memberi karena bayi itu bukan darah dagingnya. Sang istri menuntut pada suami yang secara hukum untuk diadili secara hukum. Yang saya tanyakan, bisakah istri tersebut menuntut suami yang sah secara hukum di pengadilan karena tidak memberi nafkah? Terima Wr. Wb.,Saudara Dardai yang terhormat, Berdasarkan sapaan salam Anda di awal, maka pertanyaan Anda akan kami jawab dari perspektif hukum perkawinan bagi mereka yang memeluk Agama Islam di Indonesia. Kami mengasumsikan perkawinan antara saudara Anda pihak suami dan istri dilangsungkan saat kondisi kejiwaan si suami sehat dan telah ba’da al dukhul telah melakukan hubungan suami istri. Dengan kata lain, perkawinan tersebut sah secara agama dan secara hukum negara. Adapun perbuatan si istri yang melakukan persetubuhan dengan orang lain saat masih terikat perkawinan yang sah adalah terkualifikasi perzinahan Pasal 284 KUHP. Dan nikah siri baru dilangsungkan saat si istri dalam keadaan telah hamil dengan orang lain. Poliandri memiliki suami lebih dari satu dilarang dalam Islam haram hukumnya. Keberatan pihak suami untuk tidak memberikan nafkah lahir kepada istri dan calon bayinya, harusnya ditindaklanjuti dengan upaya mengajukan permohonan talak, baik sendiri ataupun melalui kuasanya ke Pengadilan Agama di tempat tinggal si istri dengan mendasarkan alasannya pada ketentuan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam “KHI” yang berbunyi sebagai berikut Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri;Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;Suami melanggar taklik-talak;Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah dari perkawinan antara suami dengan istri tidak mempunyai anak dan istri nusyuz, maka ketentuan Pasal 149 KHI kewajiban suami akibat talak jo. Pasal 152 KHI dapat menjadi penguat dalil permohonan talak yakni Bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya, kecuali bila ia anak yang dikandung oleh si istri adalah anak di luar perkawinan yang sah, sehingga berlakulah ketentuan Pasal 100 KHI yakni Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2012, ketentuan Pasal 43 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dimana salah satu kutipan amar putusannya adalah sebagai berikut Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang PerkawinanLembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019 yang menyatakan, “Anakyang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata denganibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.Sehingga jelas bahwa saudara Anda si suami tidak mempunyai hubungan nasab dengan si calon bayi, karena bukan ayah biologis dari si bayi, sehingga terkait dengan pertanyaan Anda, maka pihak suami tidak mempunyai kewajiban hukum apapun untuk memberi nafkah kepada si istri maupun si bayi. Dari pertanyaan Saudara di atas tidak terdeskripsikan dengan jelas upaya hukum apa yang telah ditempuh oleh si istri dalam menuntut’ pemberian nafkah dari suaminya. Setiap orang berhak menempuh upaya hukum apapun, saat dirinya merasa haknya dilanggar. Namun hak yang sama dimiliki juga oleh orang lain, karenanya pihak istri harus bersiap-siap juga untuk digugat, dan dilaporkan balik ke kepolisian atas upaya hukum yang ditempuhnya tersebut. Menurut kami, dalam masalah ini yang paling penting adalah mempertegas mengenai status perkawinan antara si suami dan istrinya. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732.2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;3. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Tags3 Suami suka membandingkan isteri dengan wanita lain. 4. Suami kurang kontrol emosi 5. Suami gagal memuji hal-hal kecil yang dilakukan Isteri. 6. Suami tidak terima pendapat Isteri. 7. Suami tidak pernah minta maaf ketika berbuat salah. B. Isteri : 1. Isteri tidak menghargai Suami sebagai ketua rumah tangga. 2. Isteri gagal menundukkan diri
Home Beja ti Batur - 14 November 2022, 2125 WIB ilustrasi suami istri, penjelasan hukum mencium pasangan suami istri saat siang hari dalam kondisi puasa di bulan Ramadhan. /PIXABAY/ Pixel2013 "Jika kamu tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya" QS. An-Nisa' 4 Ayat 19 Baca Juga Berikut Ini Bacaan, Makna dan Hukum Sujud Syukur, Jangan Sampai Keliru! Wallahu'alam, semoga bermanfaat.*** Editor Popi Siti Sopiah Tags Hukum Islam membandingkan suami isteri Membandingkan Diri dengan Orang Lain Terkait Dewi Perssik Temukan Ibu-Ibu yang Menghina Dirinya, Ternyata sampai Dibawa ke Jalur Hukum karena Hal Ini Jangan Salah! Ternyata Inilah Hukum Mencabut Uban, Umat Muslim Wajib Tahu Mengerikan! Ternyata Ini Hukum Menjadi Pelakor, Wanita Harus Hati-hati Berikut Ini Bacaan, Makna dan Hukum Sujud Syukur, Jangan Sampai Keliru! Berikut Ini Hukum Membongkar Kuburan Orang Kafir Untuk Diambil Hartanya Terkini Terpopuler Terpopuler PRMN TERKINI Kewajibanseorang istri terhadap suaminya dan keluarganya berbeda dalam budaya dan masyarakat yang berbeda. Di zaman modern, seorang wanita disebut istri hanya untuk saat dia tetap menikah dengan suaminya. Jika suami dan istri bercerai, wanita tersebut disebut sebagai mantan istri dan bukan hanya istri. Di dalam institusi perkawinan, laki-lakiApalagimenjelek-jelekkan mereka berdua dan membuat suami mengusirnya. Astagfirullah Sikap demikian tak hanya terjadi saat pasangan suami istri tinggal serumah dengan mertua saja. Seorang istri harus menyadari bahwa mertua sama seperti orang tuanya sendiri yang harus dihormati serta diberi kasih sayang juga. 5. Berpenampilan Seadanya Di HadapanDetikForum> Politik & Peristiwa > Hukum: Aneh! Istri Dipenjarakan Suami Sendiri Thread Terpopuler . Jumat, 2022/06/08 10:48 WIB Jumat, 2022/06/08 10:48 WIB Heboh Skandal Pebasket, Bercinta dengan 2 Ribu Wanita hingga Mr P Patah 3 Kali; Jumat, 2022/06/08 15:04 WIB Heboh, Perempuan Cantik Di Depok Mengaku Utusan Malaikat Tetapi anda 1 Membandingkan dengan pria lain. Pria mana yang tak kesal kalau istrinya suka membandingkan dirinya dengan pria lain? Dibanding-bandingkan dengan orang lain memang adalah hal yang paling menyebalkan. Apalagi jika dibandingkannya dari segi keburukan, misal dibandingkan dengan fisik pria lain yang lebih tampan, pekerjaannya yang lebih mapan BdBr.